Selasa, 13 Oktober 2009

KRITERIA NANDA-NOC-NIC

KRITERIA MENURUT NANDA, NOC DAN NIC.
by : Nofly B. kario, S.Kep


1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan dispnea karena fraktur os Nasal.
1) NANDA : ineffective breathing pattern-1980, 1996, 1998.
Domain : 4-aktivitas/istirahat
Kelas : 4- respon kardiovaskuler/pulmonal
Diagnosis : pola nafas tidak efektif
Pengertian : ventilasi atau pertukaran udara inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat.

Batasan karakteristik :
• Penurunan tekanan inpirasi/ekspirasi
• Penurunan ventilasi permenit
• Penggunaan otot nafas tambahan untuk bernafas
• Dispnea
• Penyimpangan dada
• Nafas pendek
• Nafas pursed-lip (dengan bibir)
• Ekspirasi memanjang
• Frekwensi nafas :
o Bayi : < 25 atau > 60
o 1-4 thn : <20 atau > 30
o 5-14 thn : <20 atau >30
o > 14 thn : <11 atau >24
• Kedalaman nafas :
o Volume tidal dewasa saat istirahat 500 ml
o Volume tidal bayi 6-8 ml/kgBB
• Penurunan kapasitas vital

2) CLIEN OUTCOMES :
• Status respirasi : Kepatenan jalan nafas
• Status respirasi : ventilasi
• Status tanda vital.

3) NURSING OUTCOMES : Respiratory Status : Ventilation (0403)
Domain : Physiologic health (II)
Class : Cardiopulmonary (E)
Scale : Extremely compromised to not compromised (a)

Indikasi : Skala :
040301 Jumlah pernafasan 3-MDC
040302 Ritme pernafasan 3-MDC
040303 Pernafasan dalam 3-MDC
040305 Istirahat cukup 4-MLC
040307 Kekuatan vokal 2-SBC
040313 Dispnue tidak ada 4-MLC


4) NURSING INTERVENTIONS
Aktivitas :
• Pertahankan kepatenan jalan masuk
• Pertahankan jalan nafas
• Pantau ABC (acid-base management) dan tingkat elektrolit, jika didapatkan
• Pantau status hemodinamik yaitu CVP, MAP, PCWP, jika diperlukan
• Pantau untuk kekurangan cairan (mis : muntah, diare, diuresis) jika diperlukan
• Posisi untuk fasilitasi kekuatan ventilasi (mis : buka jalan nafas dan mengangkat kepala dari tempat tidur)
• Pantau status pernafasan

2. Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi frontal.
1) NANDA : acute pain-1996.
Domain : 12-kenyamanan
Kelas : 1-kenyamanan fisik
Diagnosis : nyeri akut
Pengertian : Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional): serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan.

Batasan karakteristik :
• Laporan secara verbal atau nonverbal
• Fakta dari observasi
• Tingkah laku berhati-hati
• Muka topeng
• Terfokus pada diri sendiri
• Fokus menyempit (Penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan).
• Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)
• Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku).
• Tingkah laku ekspresif (contoh:gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
• Perubahan dalam nafsu makan dan minum

2) CLIEN OUTCOMES :
a. Tingkat kenyamanan
b. Perilaku mengendalikan nyeri
c. Nyeri : efek merusak.
d. Tingkat nyeri.

3) NURSING OUTCOMES : Pain level-2102
Domain : perceived health (V)
Class : symptom status (V)
Scale : severe to none (n)

Indikasi : Skala :
210201 Melaporkan nyeri 2-SB
210203 Frekuensi nyeri 3-M
210204 Episode nyeri 3-M
210205 Ekspresi mulut terhadap nyeri 2-SB
210206 Ekspresi muka terhadap nyeri 2-SB
210207 Istirahat cukup 4-SL

4) NURSING INTERVENTIONS : Pain Management-1400.
Aktivitas :
• Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif, meliputi lokasi, karakteristik, durasi, kualitas, intensitas, atau keparahan nyeri dan factor prepitasinya
• Observasi isyarat ketidaknyamanan nonverbal, khususnya pada mereka yang tidak mampu mengkomunikasikannya secara efektif
• Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, seberapa lama akan berlangsung.
• Ajarkan penggunaan teknik nonfamakologis misalnya : relaksasi, terapi music, distraksi, terapi bermain, kompres hangat/dingin, dan massase ; sebelum dan setelah memungkinkan selama aktivitas yang menyakitkan, sebelum terjadi nyeri atau meningkat, dan selama penggunaan tindakan pengurangan nyeri yang lain.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh dan ADL dibantu.
1) NANDA : Activity Intolerance-1982
Domain : 4-aktivitas/istirahat
Kelas : 4-respon kardiovaskuler/pulmonal
Diagnosis : intoleransi aktivitas
Pengertian : Ketidakcukupan energi secara fisiologis atau psikologis dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari yang dibutuhkan atau diperlukan.

Batasan karakteristik :
• Laporan verbal : kelelahan dan kelemahan
• Respon terhadap aktivitas menunjukkan nadi dan tekanan darah abnormal
• Perubahan EKG menunjukkan aritmia atau disritmia.
• Dispnea dan ketidaknyamanan yang sangat.

2) Clien outcomes :
• Daya tahan
• Penghematan energy
• Perawatan diri : aktivitas hidup sehari-hari
• Perawatan diri : aktivitas kehidupan sehari-hari instrumental.

3) Nursing outcomes : self care ; activities of daily living (ADL) (0300)
Domain : Functional Health (I)
Class : self care (D)
Scale : Dependent, does not participate to completely independent (c)


Aktivitas : Skala
030001 Makan 2-RAPD
030002 Berpakaian 2-RAPD
030003 Toileting 2-RAPD
030004 Mandi 2-RAPD
030006 Kebersihan 2-RAPD
030007 Kebersihan mulut 2-RAPD

4) Nursing Interventions : Activity theraphy (4310)
Aktivitas :
• Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik dan /atau rekreasi untuk merencanakan dan mamantau program aktivitas, sesuai dengan kebutuhan
• Evaluasi emosi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas.
• Penggunaan teknik relaksasi (misalnya ; distraksi, visualisasi selama aktivitas)
• Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersandar, duduk, berdiri, dan ambulasi yang dapat ditoleransi
• Rencanakan aktivitas dengan pasien/keluarga yang meningkatkan kemandirian dan daya tahan.

Senin, 05 Oktober 2009

ASKEP HEMATEMESIS MELENA EC SIROSIS HEPATIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT
HEMATEMESIS MELENA
a. PENGERTIAN
Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah pengeluaran faeses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan bagian atas. Warna hematemesis tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara darah dengan asam lambung dan besar kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal.
Biasanya terjadi hematemesis bila ada perdarahan di daerah proksimal jejunun dan melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemesis. Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml, baru dijumpai keadaan melena. Banyaknya darah yang keluar selama hematemesis atau melena sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga besar kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis dan melena merupakan suatu keadaan yang gawat dan memerlukan perawatan segera di rumah sakit.
Penyebab perdarahan saluran makan bagian atas
• Kelainan esofagus: varise, esofagitis, keganasan.
• Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum, keganasan dan lain-lain.
• Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation), purpura trombositopenia dan lain-lain.
• Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
• Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol, dan lai-lain.
Penting sekali menentukan penyebab dan tempat asal perdarahan saluran makan bagian atas, karena terdapat perbedaan usaha penanggulangan setiap macam perdarahan saluran makan bagian atas. Penyebab perdarahan saluran makan bagian atas yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 45-50 % seluruh perdarahan saluran makan bagian atas (Hilmy 1971: 58)


b. DIAGNOSIS
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium
Dilakukan anmnesis yang teliti dan bila keadaan umum penderita lamah atau kesadaran menurun maka dapat diambil aloanamnesis. Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu, misalnya hepatitis, penyakit hati menahun, alkoholisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat ulserogenik dan penyakit darah seperti: leukemia dan lain-lain. Biasanya pada perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus tidak dijumpai adanya keluhan rasa nyeri atau pedih di daerah epigastrium dan gejala hematemesis timbul secara mendadak. Dari hasil anamnesis sudah dapat diperkirakan jumlah perdarahan yang keluar dengan memakai takara yang praktis seperti berapa gelas, berapa kaleng dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik penderita perdarahan saluran makan bagian atas yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah, tanda-tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera diketahui keadaan yang lebih serius seperti adanya rejatan atau kegagalan fungsi hati. Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hepatis, seperti spider naevi, ginekomasti, eritema palmaris, caput medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai.
Pemeriksaan laboratorium seperti kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit, sediaan darah hapus, golongan darah dan uji fungsi hati segera dilakukan secara berkala untuk dapat mengikuti perkembangan penderita.

1) Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan pemeriksaan esofagogram untuk daerah esofagus dan diteruskan dengan pemeriksaan double contrast pada lambung dan duodenum.
Pemeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai posisi terutama pada daerah 1/3 distal esofagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada/tidaknya varises. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, dianjurkan pemeriksaan radiologik ini sedini mungkin, dan sebaiknya segera setelah hematemesis berhenti.



2) Pemeriksaan endoskopik
Dengan adanya berbagai macam tipe fiberendoskop, maka pemeriksaan secara endoskopik menjadi sangat penting untuk menentukan dengan tepat tempat asal dan sumber perdarahan. Keuntungan lain dari pemeriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi, aspirasi cairan, dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik. Pada perdarahan saluran makan bagian atas yang sedang berlangsung, pemeriksaan endoskopik dapat dilakukan secara darurat atau sedini mungkin setelah hematemesis berhenti.

3) Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab perdarahan saluran makan bagian atas. Pemeriksaan ini memerlukan peralatan dan tenaga khusus yang sampai sekarang hanya terdapat dikota besar saja.

c. TERAPI
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin dan sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas meliputi :
1. Pengawasan dan pengobatan umum
• Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan efek sedatif morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.
• Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair.
• Infus cairan langsung dipasang dan diberilan larutan garam fisiologis selama belum tersedia darah.
• Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila perlu dipasang CVP monitor.
• Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk mengikuti keadaan perdarahan.
• Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan mempertahankan kadar hemoglobin 50-70 % harga normal.
• Pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari, karbasokrom (Adona AC), antasida dan golongan H2 reseptor antagonis (simetidin atau ranitidin) berguna untuk menanggulangi perdarahan.
• Dilakukan klisma atau lavemen dengan air biasa disertai pemberian antibiotika yang tidak diserap oleh usus, sebagai tindadakan sterilisasi usus. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan produksi amoniak oleh bakteri usus, dan ini dapat menimbulkan ensefalopati hepatik.

2. Pemasangan pipa naso-gastrik
Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan lambung, lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obat-obatan. Pemberian air pada kumbah lambung akan menyebabkan vasokontriksi lokal sehingga diharapkan terjadi penurunan aliran darah di mukosa lambung, dengan demikian perdarahan akan berhenti. Kumbah lambung ini akan dilakukan berulang kali memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan aspirasi berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam. Pemeriksaan endoskopi dapat segera dilakukan setelah cairan aspirasi lambung sudah jernih.
3. Pemberian pitresin (vasopresin)
Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada pemberian pitresin per infus akan mengakibatkan kontriksi pembuluh darah dan splanknikus sehingga menurunkan tekanan vena porta, dengan demikian diharapkan perdarahan varises dapat berhenti. Perlu diingat bahwa pitresin dapat menrangsang otot polos sehingga dapat terjadi vasokontriksi koroner, karena itu harus berhati-hati dengan pemakaian obat tersebut terutama pada penderita penyakit jantung iskemik. Karena itu perlu pemeriksaan elektrokardiogram dan anamnesis terhadap kemungkinan adanya penyakit jantung koroner/iskemik.
4. Pemasangan balon SB Tube
Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk penderita perdarahan akibat pecahnya varises. Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan sesudah penderita tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan dijelaskan makna pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya dan kemungkinan kerja ikutan yang dapat timbul pada waktu dan selama pemasangan.
Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan pemakaian SB tube ini dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas akibat pecahnya varises esofagus. Komplikasi pemasangan SB tube yang berat seperti laserasi dan ruptur esofagus, obstruksi jalan napas tidak pernah dijumpai.
5. Pemakaian bahan sklerotik
Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3 % sebanyak 3 ml dengan bantuan fiberendoskop yang fleksibel disuntikan dipermukaan varises kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan ini tidak memerlukan narkose umum dan dapat diulang beberapa kali. Cara pengobatan ini sudah mulai populer dan merupakan salah satu pengobatan yang baru dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus.
6. Tindakan operasi
Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami kegagalan dan perdarahan tetap berlangsung, maka dapat dipikirkan tindakan operasi . Tindakan operasi yang basa dilakukan adalah : ligasi varises esofagus, transeksi esofagus, pintasan porto-kaval.
Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu perdarahan berhenti dan fungsi hari membaik.

D. Prognosis
Pada umumnya penderita dengan perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang buruk/.terganggu sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Hasil penelitian Hernomo menunjukan bahwa angka kematian penderita dengan perdarahan saluran makan bagian atas dipengaruhi oleh faktor kadar Hb waktu dirawat, terjadi/tidaknya perdarahan ulang, keadaan hati, seperti ikterus, encefalopati dan golongan menurut kriteria Child.
Mengingat tingginya angka kematian dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan sakuran makan bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah terjadinya sirosis hati.

SIROSIS HEPATIS
a. Pengertian
Sirosis hepatis adalah stadium akhir penyakit hati menahun dimana secara anatomis didapatkan proses fibrosis dengan pembentukan nodul regenerasi dan nekrosis.

b. Penyebab
Beberapa penyebab dari sirosis hepatic yang sering adalah:
1) Post nekrotic cirrhosis (viral hepatits)
2) Proses autoimmune:
a) Cronic active hepatitis.
b) Biliary cirhosis
3) Alkoholisme

c. Gambaran Klinis
1) Mual-mual, nafsu makan menurun
2) Cepat lelah
3) Kelemahan otot
4) Penurunan berat badan
5) Air kencing berwarna gelap
6) Kadang-kadang hati teraba keras
7) Ikterus, spider naevi, erytema palmaris
8) Asites
9) Hematemesis, melena
10) Ensefalopati

d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Urine : bila ada ikterus, urobilin dan bilirubin menjadi positif.
2) Feses : ada perdarahan maka test benzidin positif.
3) Darah : dapat timbul anemia, hipoalbumin, hiponatrium.
4) Test faal hati.


e. Prognosis Yang Jelek
1) Adanya ikterus yang jelek.
2) Pengobatan sudah satu bulan tanpa perbaikan.
3) Asites.
4) Hati yang mengecil.
5) Ada komplikasi yang neurologist.
6) Ensefalopati.
7) Perdarahan.

f. Pengobatan
1) Istirahat yang cukup.
2) Makanan tinggi kalori dan protein.
3) Vitamin yang cukup.
4) Pengobatan terhadap penyulit.

PENGKAJIAN HEMATEMESIS DAN MELENA
1) Riwayat Kesehatan
1. Riwayat mengidap : Penyakit Hepatitis kronis, cirrochis hepatis, hepatoma, ulkus peptikum
2. Kanker saluran pencernaan bagian atas
3. Riwayat penyakit darah, misalnya DIC
4. Riwayat penggunaan obat-obat ulserogenik
5. Kebiasaan/gaya hidup :
Alkoholisme, kebiasaan makan
2) Pengkajian Umum
1. Intake : anorexia, mual, muntah, penurunan berat badan.
2. Eliminasi :
• BAB :
konstipasi atau diare, adakah melena (warna darah hitam, konsistensi pekat, jumlahnya)
• BAK :
warna gelap, konsistensi pekat
3. Neurosensori :
adanya penurunan kesadaran (bingung, halusinasi, koma).
4. Respirasi :
sesak, dyspnoe, hipoxia
5. Aktifitas :
lemah, lelah, letargi, penurunan tonus otot

3) Pengkajian Fisik
1. Kesadaran, tekanan darah, nadi, temperatur, respirasi
2. Inspeksi :
Mata : conjungtiva (ada tidaknya anemis)
Mulut : adanya isi lambung yang bercampur darah
Ekstremitas : ujung-ujung jari pucat
Kulit : dingin
3. Auskultasi :
Paru
Jantung : irama cepat atau lambat
Usus : peristaltik menurun
4. Perkusi :
Abdomen : terdengar sonor, kembung atau tidak
Reflek patela : menurun
5. Studi diagnostik
Pemeriksaan darah : Hb, Ht, RBC, Protrombin, Fibrinogen, BUN, serum, amonoiak, albumin.
Pemeriksaan urin : BJ, warna, kepekatan
Pemeriksaan penunjang : esophagoscopy, endoscopy, USG, CT Scan.

4) Pengkajian Khusus
Pengkajian Kebutuhan Fisiologis
1. Oksigen
Yang dikaji adalah :
• Jumlah serta warna darah hematemesis.
• Warna kecoklatan : darah dari lambung kemungkinan masih tertinggal, potensial aspirasi.
• Posisi tidur klien : untuk mencegah adanya muntah masuk ke jalan nafas, mencegah renjatan.
• Tanda-tanda renjatan : bisa terjadi apabila jumlah darah > 500 cc dan terjadi secara kontinyu.
Jumlah perdarahan : observasi tanda-tanda hemodinamik yaitu tekanan darah, nadi, pernapasan, temperatur. Biasanya tekanan darah (sistolik) 110 mmHg, pernafasan cepat, nadi 110 x/menit, suhu antara 38 - 39 derajat Celcius, kulit dingin pucat atau cyanosis pada bibir, ujung-ujung ekstremitas, sirkulasi darah ke ginjal berkurang, menyebabkan urine berkurang.
2. Cairan
Keadaan yang perlu dikaji pada klien dengan hematemesis melena yang berhubungan dengan kebutuhan cairan yaitu jumlah perdarahan yang terjadi. Jumlah darah akan menentukan cairan pengganti.
Dikaji : macam perdarahan/cara pengeluaran darah untuk menentukan lokasi perdarahan serta jenis pembuluh darah yang pecah. Perdarahan yang terjadi secara tiba-tiba, warna darah merah segar, serta keluarnya secara kontinyu menggambarkan perdarahan yang terjadi pada saluran pencernaan bagian atas dan terjadi pecahnya pembuluh darah arteri. Jika fase emergency sudah berlalu, pada fase berikutnya lakukan pengkajian terhadap :
• Keseimbangan intake output. Pengkajian ini dilakukan pada klien hematemesis melena yang disebabkan oleh pecahnya varices esofagus sebagai akibat dari cirrochis hepatis yang sering mengalami asites dan edema.
• Pemberian cairan infus yang diberikan pada klien.
• Output urine dan catat jumlahnya per 24 jam.
• Tanda-tanda dehidrasi seperti turgor kulit yang menurun, mata cekung, jumlah urin yang sedikit. Untuk klien dengan hemetemesis melena sering mengalami gangguan fungsi ginjal.

3. Nutrisi
Dikaji :
• Kemampuan klien untuk beradaptasi dengan diit : 3 hari I cair selanjutnya makanan lunak.
• Pola makan klien
• BB sebelum terjadi perdarahan
• Kebersihan mulut : karena hemetemesis dan melena, sisa-sisa perdarahan
• dapat menjadi sumber infeksi yang menimbulkan ketidaknyamanan.

4. Temperatur
Klien dengan hematemesis melena pada umumnya mengalami kenaikan temperatur sekitar 38 - 39 derajat Celcius. Pada keadaan pre renjatan temperatur kulit menjadi dingin sebagai akibat gangguan sirkulasi. Penumpukan sisa perdarahan merupakan sumber infeksi pada saluran cerna sehingga suhu tubuh klien dapat meningkat. Selain itu pemberian infus yang lama juga dapat menjadi sumber infeksi yang menyebabkan suhu tubuh klien meningkat.

5. Eliminasi
Pada klien hematemesis melena pada umumnya mengalami gangguan eliminasi. Yang perlu dikaji adalah :
• Jumlah serta cara pengeluaran akibat fungsi ginjal terganggu. Urine berkurang dan biasanya dilakukan perawatan tirah baring.
• Defikasi, perlu dicatat jumlah, warna dan konsistensinya.
6. Perlindungan
Latar belakang sosio ekonomi klien, karena pada hematemesis melena perlu dilakukan beberapa tindakan sebagai penegakan diagnosa dan terapi bagi klien.
7. Kebutuhan Fisik dan Psiologis
Perlindungan terhadap bahaya infeksi. Perlu dikaji : kebersihan diri, kebersihan lingkungan klien, kebersihan alat-alat tenun, mempersiapkan dan melakukan pembilasan lambung, cara pemasangan dan perawatan pipa lambung, cara persiapan dan pemberian injeksi IV atau IM.
Perlindungan terhadap bahaya komplikasi :
• Kaji persiapan pemeriksaan endoscopy (informed concern).
• Persiapan yang berhubungan dengan pengambilan/pemeriksaan darah.






B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 4 tahap yaitu : Pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. (H. Lismidar, 1990, IX)
1. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah komponen kunci dan pondasi proses keperawatan, pengkajian terbagi dalam tiga tahap yaitu, pengumpulan data, analisa data dan diagnosa keperawatan. (H. Lismidar, 1990. Hal 1)
1) Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan – urutan kegiatan yang dilakukan yaitu
a) Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi.
b) Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini.
c) Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah diderita oleh klien yang mungkin sehubungan dengan hematemesis melena.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut.
e) Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk.
2) Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan hematemesis melena biasanya tinggal didaerah yang berdesak – desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal dirumah yang sumpek.
b. Pola nutrisi dan metabolic
Pada klien dengan hematemesis melena biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan menurun.
c. Pola eliminasi
Klien hematemesis melena tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi maupun defekasi
d. Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu aktivitas.
e. Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita hematemesis melena mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat.
f. Pola hubungan dan peran
Klien dengan hematemesis melena akan mengalami perasaan asolasi.
g. Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan pendengaran) tidak ada gangguan.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa khawatir klien tentang penyakitnya.
i. Pola reproduksi dan seksual
pada pola reproduksi dan seksual akan berubah karena kelemahan.
j. Pola penanggulangan stress
Dengan adanya proses pengobatan yang maka akan mengakibatkan stress pada penderita.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya aktifitas ibadah klien.

2. PEMERIKSAAN FISIK
Berdasarkan sistem – sistem tubuh
1) Sistem integument
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun
2) Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai
a. inspeksi : adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah.
b. Palpasi : Fremitus suara meningkat.
c. Perkusi : Suara ketok redup.
d. Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan yang nyaring.
3) Sistem pengindraan
Pada klien hematemesis melena untuk pengindraan tidak ada kelainan
4) Sistem kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis.
5) Sistem gastrointestinal
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.
6) Sistem musculoskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan.
7) Sistem neurologis
Kesadaran penderita yaitu kompos mentis dengan GCS : 456
8) Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Radiologi
2) Pemeriksaan laboratorium

4. ANALISA DATA
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan masalah klien. Masalah klien yang timbul yaitu, sesak napas, batuk, nyeri dada, nafsu makan menurun, aktivitas, lemas, potensial, penularan, gangguan tidur, gangguan harga diri.

5. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Tahap akhir dari perkajian adalah merumuskan Diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang masalah kesehatan klien yang dapat diatas dengan tindakan keperawatan.
Dari analisa data diatas yang ada dapat dirumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan hematemesis melena sebagai berikut :
1) Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan perdarahan esofagus dan anemia
2) Perfusi jaringan tidak efektif : serebral, perifer berhubungan dengan penurunan kadar hemoglobin akibat perdarahan.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status puasa, penurunan nafsu makan.

6. PERENCAAAN
Setelah mengumpulkan data, mengelompokan dan menentukan Diagnosa keperawatan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun perencaan. Dalam tahap perencanaan ini meliputi 3 menentukan prioritas Diagnosa keperawatan, menentukan tujuan merencanakan tindakan keperawatan.
Dan Diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana keperawatan.

7. PELAKSANAAN
Pada tahap pelaksanaan ini, fase pelaksanaan terdiri dari berbagai kegiatan yaitu :
1) Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan konsulidasi
2) Keterampilan interpersonal, intelektual, tehnical, dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat
3) Keamanan fisik dan psikologia dilindungi
4) Dokumentasi intervensi dan respon klien.


8. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan (Diagnosa, tujuan intervensi) harus di evaluasi, dengan melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan lainnya dan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan tercapai atau tidak untuk melakukan perkajian ulang jika tindakan belum hasil.
Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan berhasil atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapu alternatif tersebut adalah :
1) Tujuan tercapai
2) Tujuan tercapai sebagian
3) Tujuan tidak tercapai

Minggu, 02 Agustus 2009

NANDA-NOC-NIC : gagal ginjal kronik

1. KRITERIA NANDA, NOC DAN NIC

a. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan udema.

a) NANDA : excess fluid volume-1982, 1996

Domain : 2-nutrisi

Kelas : 5-hidrasi

Diagnosis : kelebihan volume cairan

Pengertian : peningkatan retensi cairan isotonic.

Batasan karakteristik :

· Peningkatan berat badan cepat

· Intake lebih banyak dari output

· Perubahan tekanan darah, tekanan arteri pulmonal, peningkatan tekanan vena sentral (CVP)

· Edema, dapat berkembang ke anasarka

· Distensi vena jugularis

· Perubahan pola persepsi, sipnea, nafas pendek, ortopnea, suara abnormal : rales atau crackles, kongesti paru, efusi pleura.

· Penurunan Hb dan hematokrit, gangguan elektrolit, khususnya berat jenis

· Bunyi jantung S3

· Reflex hepatojugular positif

· Oliguria, azotemia

· Perubahan status mental, gelisah, cemas.

b) NOC : Fluid Balance (0601)

Domain : Physiologic health (II)

Class : Fluid & Electrolytes (G)

Scale :Extremely compromised to Not compromised (a)

Indikasi : Skala :

060101 Tekanan Darah (batas normal) 3 -MC

060105 Palpasi nadi perifer 3-MC

060107 Keseimbangan masukan dan keluaran 24 jam 3-MC

060109 Berat badan stabil 3-MC

060110 Tidak ada asites 3-MC

060112 Tidak ada edema perifer 2-MC

060114 Tidak ada konfusi 3-MC

060116 hidrasi kulit 2-SC

c) NIC : Electrolyte Monitoring (2020)

Aktivitas :

· Timbang berat badan setiap hari dan pantau kemajuannya.

· Pertahankan keakuratan catatan asupan dan haluaran

· Pantau hasil laboratorium yang relevan terhadap retensi cairan

· Pantau indikasi kelebihan/retensi cairan.

b. Cemas berhubungan dengan kondisi/keadaan yang dialami.

a) NANDA : Anxiety-1973, 1982, 1998.

Domain : 9-koping/toleransi terhadap stress

Kelas : 2-respon koping

Diagnosis : Cemas

Pengertian : Perasaan tidak nyaman atau ketakutan yang tidak jelas dan gelisah disertai dengan respon otonom (sumber terkadang tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu), perasaan yang was-was untuk mengatasi bahaya. Ini merupakan sinyal peringatan akan adanya bahaya dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah untuk menghadapinya.

Batasan karakteristik :

1) Perilaku

· Penurunan produktivitas

· Gelisah

· Insomnia

· Resah

2) Afektif

· Kesedihan yang mendalam

· Takut

· Gugup

· Mudah tersinggung

· Nyeri hebat

· Ketakutan

· Distres

· Khawatir

· Cemas

3) Fisiologi

· Goyah

· Peningkatan respirasi (simpatis)

· Peningkatan keringat

· Wajah tegang

· Anoreksia (simpatis)

· Kelelahan (parasimpatis)

· Gugup (simpatis)

· Mual (parasimapatis)

· Pusing (parasimpatis)

4) Kognitif

· Bingung

· Kerusakan perhatian

· Ketakutan terhadap hal yang tidak jelas

· Sulit berkonsentrasi

b) NOC : Anxiety Control (1402)

Domain : Psychososial Health (III)

Class : self Control (O)

Scale : Never Demonstrated To Consistenly Demonstrated (m)

Indikasi : Skala :

140201 Kontrol instensitas cemas 2-RD

140202 Eliminasi tanda cemas 2-RD

140206 Menggunakan strategi koping efektif 3-RD

140207 Menggunakan teknik relaksasi untuk menekan 4-RD

kecemasan

c) NIC : Counseling (5240)

Aktivitas :

· Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan kecemasan.

· Bantu pasien untuk menfokuskan pada situasi saat ini, sebagai alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi kecemasan.

· Sediakan pengalihan melalui televise, radio, permainan serta terapi okupasii untuk mengurangi kecemasan dan memperluas focus.

Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu meneruskan aktivitas sehari-hari dan lainnnya meskipun mengalami kecemasan.

Askep Gagal Ginjal kronik (CRF- CKD)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

1. KONSEP DASAR MEDIS.

1.1. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang berlangsung perlahan-lahan, karena penyebab yang berlangsung lama dan menetap , yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (Toksik uremik) sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit. Toksik uremik adalah bahan yang dituduh sebagai penyebab sindrom klinik uremia. Toksik uremik yang telah diterima adalah : H2O, Na, K, H, P anorganik dan PTH Renin. Sedangkan yang belum diterima adalah : BUN, Kreatinin, asam Urat, Guanidin, midlle molecule dan sebagainya. Pada umumnya CRF tidak reversibel lagi, dimana ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan diet makanan dan minuman untuk orang normal.

Fisiologi Ginjal Normal

Langkah pertama yang berlangsung dalam ginjal yaitu proses pembentukan urine yang dikenal sebagai ultrafiltrasi darah atau plasma dalam kapiler glomerulus berupa air dan kristaloid. Selanjutnya dalam tubuli ginjal pembentukan urine disempurnakan dengan proses reabsorpsi zat-zat yang esensial dari cairan filtrasi untuk dikembalikan ke dalam darah dan proses sekresi zat-zat untuk dikeluarkan ke dalam urine. Fisiologi Ginjal dalam proses Filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi selama 24 jam.

1.2. ETIOLOGI

Penyebab dari gagal ginjal kronik antara lain :

1.2.1. Infeksi

1.2.2. Penyakit peradangan

1.2.3. Penyakit vaskuler hipersensitif

1.2.4. Gangguan jaringan penyambung

1.2.5. Gangguan kongenital dan herediter

1.2.6. Gangguan metabolism

1.2.7. Nefropatik toksik

1.2.8. Nefropati obstruksi Faktor-faktor predisposisi timbulnya infeksi traktus urinarius:

1.2.9. Obstruksi aliran urine

1.2.10. Seks/usia

1.2.11. Kehamilan

1.2.12. Refleks vesikoureteral

1.2.13. Instrumentasi (kateter yang dibiarkan di dalam)

1.2.14. Penyakit ginjal

1.2.15. Gangguan metabolism

1.3. PATOFISIOLOGI

Gagal ginjal kronik terjadi setelah sejumlah keadaan yang menghancurkan masa nefron ginjal. Keadaan ini mencakup penyakit parenkim ginjal difus bilateral, juga lesi obstruksi pada traktus urinarius. Mula-mula terjadi beberapa serangan penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus (Glumerolunepritis), yang menyerang tubulus gijal (Pyelonepritis atau penakit polikistik) dan yang mengganggu perfusi fungsi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis). Kegagalan ginjal ini bisa terjadi karena serangan penyakit dengan stadium yang berbeda-beda

1.3.1. Stadium I

Penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinine serum dan kadar BUN normal dan pasien asimtomatik. Homeostsis terpelihara. Tidak ada keluhan. Cadangan ginjal residu 40 % dari normal.

1.3.2. Stadium II

Insufisiensi Ginjal. Penurunan kemampuan memelihara homeotasis, Azotemia ringan, anemi. Tidak mampu memekatkan urine dan menyimpan air, Fungsi ginjal residu 15-40 % dari normal, GFR menurun menjadi 20 ml/menit. (normal : 100-120 ml/menit). Lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal), kadar BUN meningkat, kreatinine serum meningkat melebihi kadar normal. Dan gejala yang timbul nokturia dan poliuria (akibat kegagalan pemekatan urine)

1.3.3. Stadium III

Payah ginjal stadium akhir. Kerusakan massa nefron sekitar 90% (nilai GFR 10% dari normal). BUN meningkat, klieren kreatinin 5- 10 ml/menit. Pasien oliguria. Gejala lebih parah karena ginjal tak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Azotemia dan anemia lebih berat, Nokturia, Gangguan cairan dan elektrolit, kesulitan dalam beraktivitas.

1.3.4. Stadium IV

Tidak terjadi homeotasis, Keluhan pada semua sistem, Fungsi ginjal residu kurang dari 5 % dari normal.

1.4. PERMASALAHAN FISIOLOGIS

Yang Disebabkan Oleh Gagal Ginjal

1.4.1. Ketidakseimbangan cairan

Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urine (hipothenuria) dan kehilangan cairan yang berlebihan (poliuria). Hipothenuria tidak disebabkan atau berhubungan dengan penurunan jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan beban zat tiap nefron. Hal ini terjadi karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi osmotik diuretik, menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi. Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat maka ginjal tidak mampu menyaring urine (isothenuria). Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus. Maka akan terjadi kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium.

1.4.2. Ketidaseimbangan Natrium

Ketidaseimbangan natrium merupakan masalah yang serium dimana ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium setiap hari atau dapat meningkat sampai 200 mEq perhari. Variasi kehilangan natrium berhubungan dengan “intact nephron theory”. Dengan kata lain, bila terjadi kerusakan nefron maka tidak terjadi pertukaran natrium. Nefron menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium lebih meningkat pada gangguan gastrointstinal, terutama muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi. Pada CRF yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi kehilangan yang fleksibel nilai natrium. Orang sehat dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari. Bila GFR menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka ekskresi natrium kurang lebih 25 mEq/hari, maksimal ekskresinya 150-200 mEq/hari. Pada keadaan ini natrium dalam diet dibatasi 1-1,5 gram/hari.

1.4.3. Ketidakseimbangan Kalium

Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolik terkontrol maka hiperkalemia jarang terjadi sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi aldosteron. Selama output urine dipertahankan kadar kalium biasanya terpelihara. Hiperkaliemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan, dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia. Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat, pada penyakit tubuler ginjal, nefron ginjal, meresorbsi kalium sehingga ekskresi kalium meningkat. Jika hipokalemia persisten, kemungkinan GFR menurun dan produksi NH3 meningkat. HCO3 menurun dan natrium bertahan.

1.4.4. Ketidaseimbangan asam basa

Asidosis metabolik terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresikan ion Hirdogen untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler mengakibatkan ketidamampuan pengeluaran ioh H. Dan pada umumnya penurunan ekskresi H + sebanding dengan penurunan GFR. Asam yang secara terus-menerus dibentuk oleh metabolisme dalam tubuh tidak difiltrasi secara efektif melewati GBM, NH3 menurun dan sel tubuler tidak berfungsi. Kegagalan pembentukan bikarbonat memperberat ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hidrogen dibuffer oleh mineral tulang. Akibatnya asidosis metabolik memungkinkan terjadinya osteodistrophy.

1.4.5. Ketidakseimbangan Magnesium

Magnesium pada tahap awal CRF adalah normal, tetapi menurun secara progresif dalam ekskresi urine menyebabkan akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan mengakibatkan henti napas dan jantung.

1.4.6. Ketidakseimbangan Calsium dan Fospor

Secara normal calsium dan pospor dipertahankan oleh parathyroid hormon yang menyebabkan ginjal mereabsorbsi kalsium, mobilisasi calsium dari tulang dan depresi resorbsi tubuler dari pospor. Bila fungsi ginjal menurun 20-25 % dari normal, hiperpospatemia dan hipocalsemia terjadi sehingga timbul hiperparathyroidisme sekunder. Metabolisme vitamin D terganggu. Dan bila hiperparathyroidisme berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan osteorenaldystrophy.

1.4.7. Anemia

Penurunan Hb disebabkan oleh:

1.4.7.1. Masa hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma.

1.4.7.2. Peningkatan kehilangan sel darah merah karena ulserasi gastrointestinal, dialisis, dan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.

1.4.7.3. Defisiensi folat

1.4.7.4. Defisiensi iron/zat besi

1.4.7.5. Peningkatan hormon paratiroid merangsang jaringan fibrosa atau osteitis fibrosis, mengambil produksi sum-sum menurun.

1.4.8. Ureum kreatinin

Urea yang merupakan hasil metabolik protein meningkat (terakumulasi). Kadar BUN bukan indikator yang tepat dari penyakit ginjal sebab peningkatan BUN dapat terjadi pada penurunan GFR dan peningkatan intake protein. Tetapi kreatinin serum adalah indikator yang lebih baik pada gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama dengan jumlah yang diproduksi tubuh.

1.5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1.5.1. Pemeriksaan Laboratorium

Penilaian CRF dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan pemerikasaan laboratorium, seperti : Kadar serum sodium/natrium dan potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Pada stadium yang cepat pada insufisiesi ginjal, analisa urine dapat menunjang dan sebagai indikator untuk melihat kelainan fungsi ginjal. Batas kreatinin urin rata-rata dari urine tampung selama 24 jam. Analisa urine rutin dapat dilakukan pada stadium gagal ginjal yang mana dijumpai produksi urin yang tidak normal. Dengan urin analisa juga dapat menunjukkan kadar protein, glukosa, RBCs/eritrosit, dan WBCs/leukosit serta penurunan osmolaritas urin. Pada gagal ginjal yang progresif dapat terjadi output urin yang kurang dan frekuensi urin menurun. Monitor kadar BUN dan kadar creatinin sangat penting bagi pasien dengan gagal ginjal. Urea nitrogen adalah produk akhir dari metabolisme protein serta urea yang harus dikeluarkan oleh ginjal. Normal kadar BUN dan kreatinin sekitar 20 : 1. Bila ada peningkatan BUN selalu diindikasikan adanya dehidrasi dan kelebihan intake protein.

1.5.2. Pemeriksaan Radiologi

Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan utntuk mengetahui gangguan fungsi ginjal antara lain:

1.5.3. Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, uereter dan vesika urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.

1.5.4. Computer Tomograohy (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara jelas sturktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras atau tanpa kontras.

1.5.5. Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.

1.5.6. Aortorenal Angiography digunakan untum mengetahui sistem aretri, vena, dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras . Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.

1.5.7. Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal serta post transplantasi ginjal.

1.5.8. Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan perencanaan transplantasi ginjal.

1.6. PENATALAKSANAAN

Pada umunya keadaan sudah sedemikian rupa sehingga etiologi tidak dapat diobati lagi. Usaha harus ditujukan untuk mengurangi gejala, mencegah kerusakan/pemburukan faal ginjal yang terdiri :

1.6.1. Pengaturan minum

Pengaturan minum dasarnya adalah memberikan cairan sedemikian rupa sehingga dicapai diurisis maksimal. Bila cairan tidak dapat diberikan per oral maka diberikan perparenteral. Pemberian yang berlebihan dapat menimbulkan penumpukan di dalam rongga badan dan dapat membahayakan seperti hipervolemia yang sangat sulit diatasi.

1.6.2. Pengendalian hipertensi

Tekanan darah sedapat mungkin harus dikendalikan. Pendapat bahwa penurunan tekanan darah selalu memperburuk faal ginjal, tidak benar. Dengan obat tertentu tekanan darah dapat diturunkan tanpa mengurangi faal ginjal, misalnya dengan beta bloker, alpa metildopa, vasodilator. Mengurangi intake garam dalam rangka ini harus hati-hati karena tidak semua renal failure disertai retensi Natrium.

1.6.3. Pengendalian K dalam darah

Mengendalikan K darah sangat penting, karena peninggian K dapat menimbulkan kematian mendadak. Yang pertama harus diingat ialah jangan menimbulkan hiperkalemia karena tindakan kita sendiri seperti obat-obatan, diet buah,dan lain-lain. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosa dengan EEG, dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia maka pengobatannya dengan mengurangi intake K, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.

1.6.4. Penanggulangan Anemia

Anemia merupakan masalah yang sulit ditanggulangi pada CRF. Usaha pertama harus ditujukan mengatasi faktor defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada insufisiensi koroner.

1.6.5. Penanggulangan asidosis

Pada umumnya asidosis baru bergejala pada taraf lebih lanjut. Sebelum memberi pengobatan yang khusus faktor lain harus diatasi dulu, khususnya dehidrasi. Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium bikarbonat dapat diberikan per oral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan. kalau perlu diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.

1.6.6. Pengobatan dan pencegahan infeksi

Ginjal yang sakit lebih mudah mengalami infeksi dari pada biasanya. Pasien CRF dapat ditumpangi pyelonefritis di atas penyakit dasarnya. Adanya pyelonepritis ini tentu memperburuk lagi faal ginjal. Obat-obat anti mikroba diberi bila ada bakteriuria dengan perhatian khusus karena banyak diantara obat-obat yang toksik terhadap ginjal atau keluar melalui ginjal. Tindakan yang mempengaruhi saluran kencing seperti kateterisasi sedapat mungkin harus dihindarkan. Infeksi ditempat lain secara tidak langsung dapat pula menimbulkan permasalahan yang sama dan pengurangan faal ginjal.

1.6.7. Pengurangan protein dalam makanan

Protein dalam makanan harus diatur. Pada dasarnya jumlah protein dalam makanan dikurangi, tetapi tindakan ini jauh lebih menolong juga bila protein tersebut dipilih.
Diet dengan rendah protein yang mengandung asam amino esensial, sangat menolong bahkan dapat dipergunakan pada pasien CRF terminal untuk mengurangi jumlah dialisis.

1.6.8. Pengobatan neuropati

Neuropati timbul pada keadaan yang lebih lanjut. Biasanya neuropati ini sukar diatasi dan meurpakan salah satu indikasi untuk dialisis. Pada pasien yang sudah dialisispun neuropati masih dapat timbul.

1.6.9. Dialisis

Dasar dialisis adalah adanya darah yang mengalir dibatasi selaput semi permiabel dengan suatu cairan (cairan dialisis) yang dibuat sedemikiam rupa sehingga komposisi elektrolitnya sama dengan darah normal. Dengan demikian diharapkan bahwa zat-zat yang tidak diinginkan dari dalam darah akan berpindah ke cairan dialisis dan kalau perlu air juga dapat ditarik kecairan dialisis. Tindakan dialisis ada dua macam yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis yang merupakan tindakan pengganti fungsi faal ginjal sementara yaitu faal pengeluaran/sekresi, sedangkan fungsi endokrinnya tidak ditanggulangi.

1.6.10. Transplantasi

Dengan pencangkokkan ginjal yang sehat ke pembuluh darah pasien CRF maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru. Ginjal yang sesuai harus memenuhi beberapa persaratan, dan persyaratan yang utama adalah bahwa ginjal tersebut diambil dari orang/mayat yang ditinjau dari segi imunologik sama dengan pasien. Pemilihan dari segi imunologik ini terutama dengan pemeriksaan HLA.

2. KONSEP DASAR KEPERAWATAN.

2.1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Pada dasarnya pengkajian yang dilakukan menganut konsep perawatan secara holistic. Pengkajian dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Pada kasus ini akan dibahas khusus pada sistim tubuh yang terpengaruh :

2.1.1. Ginjal (Renal)

Kemungkinan Data yang diperoleh :

2.1.1.1. Oliguria (produksi urine kurang dari 400 cc/ 24jam)

2.1.1.2. Anuria (100 cc / 24 Jam

2.1.1.3. Infeksi (WBCs , Bacterimia)

2.1.1.4. Sediment urine mengandung : RBCs ,

2.2. Riwayat sakitnya dahulu.

2.2.1. Sejak kapan muncul keluhan

2.2.2. Berapa lama terjadinya hipertensi

2.2.3. Riwayat kebiasaan, alkohol,kopi, obat-obatan, jamu

2.2.4. Waktu kapan terjadinya nyeri kuduk dan pinggang

2.3. Penanganan selama ada gejala

2.3.1. Kalau dirasa lemah atau sakit apa yang dilakukan

2.3.2. Kalau kencing berkurang apa yang dilakukan

2.3.3. Penggunaan koping mekanisme bila sakit

2.4. Pola : Makan, tidur, eliminasi, aktifitas, dan kerja.

2.5. Pemeriksaan fisik

2.5.1. Peningkatan vena jugularis

2.5.2. Adanya edema pada papelbra dan ekstremitas

2.5.3. Anemia dan kelainan jantung

2.5.4. Hiperpigmentasi pada kulit

2.5.5. Pernapasan

2.5.6. Mulut dan bibir kering

2.5.7. Adanya kejang-kejang

2.5.8. Gangguan kesadaran

2.5.9. Pembesaran ginjal

2.5.10. Adanya neuropati perifer

2.6. Test Diagnostik

2.6.1. Pemeriksaan fungsi ginjal, kreatinin dan ureum darah

Menyiapkan pasien yang akan dilakukan Clearens Creatinin Test (CCT) adalah:

2.6.1.1. Timbang Berat badan dan mengukur tinggi badan

2.6.1.2. Menampung urine 24 jam

2.6.1.3. Mengambil darah vena sebanyak 3 cc (untuk mengetahui kreatinin darah)

2.6.1.4. Mengambil urine 50 cc.

2.6.1.5. Lakukan pemeriksaan CCT dengan rumus : Vol. Urine [cc/menit x Konsentrasi kreatinin urine (mg %)} Kreatinin Plasma (mg %)

2.6.1.6. Persiapan Intra Venous Pyelography

2.6.1.7. Puasakan pasien selama 8 jam

2.6.1.8. Bila perlu lakukan lavemen/klisma.

2.7. DIAGNOSA KEPERAWATAN

2.7.1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Berhubungan dengan retensi cairan, natrium, dan kalium.

2.7.2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan insisi pada pemasangan peritoneal dialisis, pruritus, ketegangan perut karena adanya distensi perut/asites/mual.

2.7.3. Ketidaknyamanan waktu tidur berhubungan dengan distensi perut pruritus dan nyeri muskuloskeletal/bedrest.

2.7.4. Ketidakmampuan aktifitas berhubungan dengan kelemahan dan penurunan kesadaran.

2.7.5. Kurang mampu merawat diri berhubungan dengan menurunnya kesadaran (uremia).

2.7.6. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kekurangan informasi tentang penyakitnya, prosedur perawatan.

2.7.7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan bedrest, luka insisi, dan infus.

2.7.8. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang dibatasi.

2.8. TUJUAN KEPERAWATAN

2.8.1. Kebutuhan keseimbangan cairan dan elektrolit terpenuhi.

2.8.2. Rasa nyaman terpenuhi

2.8.3. Tidur cukup

2.8.4. Aktifitas tidak terganggu

2.8.5. Mampu merawat diri

2.8.6. Meningkatnya pengetahuan pasien/keluarga tentang pencegahan dan perawatan selama dan setelah sakit.

2.8.7. Tidak terjadi infeksi/gangguan integritas kulit.

2.8.8. Tidak terjadi bahaya/kecelakaan.

2.9. INTERVENSI

2.9.1. Batasi pemberian cairan, garam, kalium peroral (makan dan minum)

2.9.2. Atur posisi yang nyaman bagi pasien, berikan bedak.

2.9.3. Latihan ROM setiap hari

2.9.4. Bantu kebutuhan kebersihan perawatan diri sampai mampu mandiri.

2.9.5. Beri informasi yang sesuai tentang prosedur perawatan dari tindakan yang diberikan selama dan sesudah sembuh.

2.9.6. Rawat kebersihan kulit dan lakukan prosedur perawatan luka, infus, kateterisasi secara steril.

2.9.7. Jauhkan dari alat-alat yang membahayakan/bedrest.

2.9.8. Menjelaskan tentang pembatasan makan yang diberikan.

3. PENYIMPANGAN KDM

Penimbunan pigmen ureum (urocrom)

Kulit kering bersisik

Stimulasi aldosteron

Merangsang saluran cerna

Gangguan rasa nyaman

FUNGSI GINJAL MENURUN

Stimulasi renin

angiotensinogen

Peningkatan ureum darah

Produk akhir metabolism protein tertimbun dalam darah

Angiotensin II

Distumulasi hipotalamus sebagai rangsangan

Gangguan integritas kulit

Angiotensin I


Cemas

Kurang pengetahuan

Kelebihan volume cairan

Penurunan nutrisi jaringan

Intoleransi aktivitas

lemah

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

Mual/muntah

Intake nutrisi kurang

Udema

Retensi Na+air